16/12/11

Potret anak Negeri

Pada langit kota angin mamiri suatu senja
di  tepi pantai losari yang bermandikan cahaya jingga
tampak gerimis berderai melukis warna dan garis
lalu mewujud  pelagi

aku di depan rumah sakit stella maris

di tepi pantai itu
kusaksikan anak anak jalanan bertelanjang
girang memungut sampah botol air mineral
yang terhempas ombak
sebagai bekal pulang ke rumah
karena dapur hari ini
tanggugjawab mereka

15/12/11

Anatara Ziarah dan Wisata

Pada keheningan pusat malam, di bawah langit gulita Jakarta yang enggan menyajikan taburan kerlap-kerlip sejuta bintang, selain dari celah awan dan kabut asap polusi kota, sang rembulan tampak malu-malu mengintip bumi. Ya, di langit malam Jakarta, bulan tampak egois. Serupa permata, ia bersinar hanya untuk dirinya sendiri. Di saat Pasar Rawasari hiruk pikuk para pedagang sayur dan buah untuk  menyongsong paginya, persis di teras samping kost kami, sambil menikmati segelas kopi asli Manggarai dan sebungkus rokok Sampoerna, saya dan kawan saya sembari menatap bulan kelabu, larut dalam obrolan santai seputar “Hardiknas” (bukan hari pendidikan nasional, tapi hari mudik nasional) menjelang Idul Fitri.
“Mudik hanyalah sebuah ‘ritual’ yang gak ada asal usulnya dengan agama Islam. Pun bukan warisan kebudayaan dari tempat di mana Quran diturunkan. Mudik hanya ada di Indonesia, terutama sangat kental di daratan pulau Jawa,” demikian kata kawan saya yang berasal dari Siduarjo, Jawa Timur ini mencoba merenungkan “hardiknas” yang cukup menyedot perhatian pemerintah. Menurutnya, mudik itu ada lantaran tiadanya lapangan kerja di daerah sehingga orang merantau ke kota-kota besar untuk mencari nafkah. Maka ketika tiba hari raya Idul Fitri, semua yang merantau akan pulang ke kampung halamannya untuk merayakan Idul Fitri dan berlebaran bersama orangtua, sanak saudara dan tetangganya di kampung dan berziarah ke makam keluarga dan leluhurnya.
“Jadi, kapan kau akan bermudik ria ke kampung?” tanyaku seusai ia panjang lebar merunut kembali istilah mudik yang sudah membudaya di negeri ini.
“Kampung? Saya mau mudik ke kampung?” sontaknya dengan nada tanya yang menampakan berbaris-baris keningnya yang  kian  mengerut, meskipun usianya masih sangat belia untuk dibilang tua.
“Kau harus bersyukur kawan, karena masih punya kampung,” tambahnya lagi seusai sejenak ia merenung, “saya, sudah tidak punya apa-apa dan siapa-siapa. Dulu, paling tidak saya masih punya kuburan mereka, kedua orangtua saya. Namun kini, apa? Saya kehilangan semuanya. Kuburan orangtua, rumah, sawah dan ladang, bahkan kampung saya sudah hilang ditelan lautan lumpur.
Sepanjang itu, hampir semalam suntuk, saya menjadi pendengar setianya menumpahkan segala rasa sesak di kalbunya. Sepanjang itu, dalam hati dan rasa, saya turut prihatin dan larut dalam dan anatara kesedihan dan kemuakan. Sepanjang itu pula, dalam kalbu dan sukma, saya mencatat dan mengingat kisah pilu sekaligus luapan amarah dan hujatan serta makian yang paling keji sekalipun seakan belum cukup tepat untuk dilontarkan terhadap Pak Menteri, Aburzal Bakrie, makhluk sang pemilik perusahaan Lapindo maut. Bahkan bila ada kesempatan, dia ingin menenggelamkan pak menteri ke dasar lumpur untuk meminta maaf kepada kedua orangtuanya pada hari lebaran tahun ini.
Pada akhir penumpahan rasa itu, saya mengajaknya mengambil haluan, dari Sidoarjo ke NTT.
“Ya, saya memang harus bersyukur, karena masih punya kampung. Saya masih punya semuanya. Tapi, cepat atau lambat, saya dan semua orang yang ada di daerah saya akan mengalami nasib yang sama.” Kataku sembari membakar rokok terakhir.
“Kampungmu di mana?”
“Di Soe. Kau tahu Soe?” jawabku sambil tersenyum sekadar menguji pengetahuan geografisnya.
“Soe itu di Timor atau di Flores, atau di Sumba?” tanyanya.
“Di Timor.”
“Masuk Timor Leste?”
“Tidak, masuk Indonesia.”
Sejenak kami diam. Ia mengambil gelas, meneguk kopinya yang sedari tadi tak tersentuh. Kami menatap lagi sang rembulan yang makin condong di ujung langit barat sambil menghembuskan asap rokok penghabisan. Saya mulai menggambarkan tentang keadaan geografis di Indonesia bagian Timur, khususnya di NTT. Dia, yang lulusan SMU, datang ke Jakarta jadi buruh pabrik memang kurang pengetahuan secara geografis di Indonesia bagian Timur sehingga sering menyamakan begitu saja NTT dengan Ambon bahkan Papua. Dia pun kaget setelah tahu bahwa di NTT banyak pertambangan di sana. Keheranannya makin memuncak ketika dia tahu bahwa tambang illegal di NTT hampir sebanding dengan yang legal. Hutan-hutan menjadi gundul hingga hutan lindung pun diserobot sehingga timbul berbagai bencana. Ya, berbagai macam bencana yang ada di NTT merupakan anak dari perselingkuhan gelap antara pengusaha tambang dan pemerintah daerah.
“Tambang di mana-mana lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya,” selanya tiba-tiba memotong penjelasan saya.
“Karena itu, kami orang NTT di Jakarta membentuk ormas-ormas kecil dan bersinergi dengan ormas-ormas lain dan para aktivis lingkungan untuk menentang atau minimal mengajak pemerintah daerah mengkaji ulang kegiatan aktivitas tambang di sana. Namun kami seperti menabrak tembok. Sangat kuat kekuasaan penguasa di sana. Mereka mampu membelah masyarakat menjadi dua kubu sehingga sering terjadi konflik antar masyarakat sendiri.” Jelasku panjang lebar.
“Ya, Insya Allah tidak terjadi seperti di Sidoarjo, Kampung saya. Saya udah gak bisa pulang kampung karena memang udah gak ada kampung. Pengen sih pulang untuk ziarah ke makam orangtuaku, tapi Siduarjo udah jadi tampat wisata lumpur. Jadi ke sana ya, antara mau ziarah atau mau wisata,” selorohnya sambil tertawa kecil.
“Ya, semua juga pasti tidak ingin kampung halamannya disulap jadi tempat wisata yang menyakitkan. Di mana-mana orang berwisata itu menyenangkan, bukan menyakitkan..haha,” balasku ikut tertawa.
Tak terasa sang rembulan mendahului kami memasuki peraduannya. Tampak langit malam Jakarta tanpa hiasan bintang dan cahaya kelabu sang rembulan. Kami pun beranjak meninggalkan setumpuk puntung Sampoerna dan ampas kopi Manggarai menuju kamar masing-masing untuk menyudahi malam itu.

28/11/11

Untuk Sang Mantan: Eks My Princess

setelah kepergianmu
kau sempat meninggalkan bekas
namamu yg pernah terukir indah
aku merawatnya dengan harap
menanti kau akan kembali suatu waktu

namun aku harus berserah dan bersimpuh
di bawah kuasa sang waktu
yang tanpa belas kasih
telah menggilasnya hingga tak berbekas


jangan salahkan aku sayang


kini
aku harus berbenah segala yang telah menjadi musuh keindahan
menata kembali estetika taman kehidupan
yang  pernah menjadi saksi kala kita memadu kasih
 kala itu aku memanggilmu puteri kerajaan
kau pun menyebutku pangeran istana cinta
seketika hidup kita serasa punya jiwa
penuh gairah
sarat makna

mari kita lupakan itu sayang


setelah kau menemukan dan tertambat di suatu negeri
kau kirim kabar bahwa kau telah tiba
di tanah terjanji penuh susu dan madu
aku pun bahagia mendengarnya.

bukankah orang yang kita cintai dengan tulus, kebahagiaannya menjadi salah satu maxim kita?

Kepada badai
kepada waktu
aku berhutang cinta
namun aku harus panjatkan puji dan syukur
atas ke-tanpa-belas-kasihan-nya
membantu menghapus bekas namanya
memberi vitamin amnesia
sekadar melupakannya

karena bagiku
melupakannya adalah suatu pencapaian tertinggi

Dari Soe Hingga Jakarta

Waktu SMP dan SMA dulu di kota, saya tinggal di asrama. Persisnya di Asrama Putera Sint Vianney Soe-TTS (yang tidak tahu kota ini, silakan lihat di peta, yang pasti belum terhapus dari peta Indonesia). Libur sekolah dan pulang ke desa merupakan saat yang paling dinanti-nantikan bagi kami  yang berasal dari desa.  Nuansa kegembiraan itu terpancar dari setiap wajah kami yang masih imut-imut manja yang telah  sekian lama menahan rasa rindu pada papa - mama  dan adik- kakak. Entah karena terdesak rasa rindu yang mendalam, sehari sebelum pengumuman liburan (H-1), ada teman yang sudah "cabut" duluan. Dan oleh kami dan beberapa guru, hal itu dianggap lumrah, toh besoknya sudah akan mulai libur. Pun ketika liburan berakhir dan mulai masuk sekolah, pada hari pertama, teman yang sama belum juga masuk sekolah. Dia baru mulai masuk sekolah pada hari kedua atau ketiga. Dan lagi, oleh kami dan beberapa guru memakluminya, toh pelajaran belum berjalan lancar.

Waktu berlalu dan berlari begitu cepat. Belum sempat membenahi diri dan melupakan hari itu, masih segar pula dalam ingatan tentang peristiwa itu, tentang pemakluman itu, tabiat buruk teman saya yang masih imutan itu dan pemaklumannya dari kami ternyata berkembang begitu pesat bersamaan dengan lajunya sang waktu. Tabiat buruk itu bagai hama ulat bulu yang dalam sekejab  dapat  merambah ke berbagai daerah. Tabiat buruk teman saya  di Soe, ternyata dengan mudah dapat dijumpai di berbagai daerah dari berbagai lapisan masyarakat di seantero negeri. Akhirnya tabiat buruk yang dipelihara secara kolektif  ini,  kini mulai merongrong eksistensi negeri ini. Keputusan atau kebijakan tiga menteri bahwa hari senin, 16 Mei 2011 adalah hari libur cuti bersama dengan alasan bahwa hari senin itu, hari yang 'kejepit' antara hari libur sehingga sudah barang tentu para pegawai akan malas masuk kerja pada hari tersebut.  Sebuah kebijakan yang diputuskan secara mendadak ini menunjukkan bahwa para penyelenggara negeri ini memiliki mentalitas yang sangat buruk. Mereka menganggap negara ini sesederhana mengurus sebuah warteg (warung Tegal). Ini merupakan contoh konkrit dari tabiat buruk yang dibiarkan untuk semakin menancapkan cengkramannya pada tubuh bangsa dan para pengurus bangsa ini seolah tidak mampu lagi untuk membenahinya selain membenarkannya atau menasionalisasikannya. dengan kata lain, melegalkan mentalitalias kemalasan dan membudayakannya. seperti inilah sikap pemerintah kita dalam menghadapi sebuah perersoalan. sebagaimana juga yang dilakukan oleh menteri hukum dan HAM, Patrialis Akbar terhadap pengguna narkoba yang dapat dibebaskan bila pemakaiannya di bawah satu gram, dengan alasan konyolnya  bahwa penjara sudah tidak mampu menampung lagi para penjahat. sungguh sangat tidak solutif.

Dalam tulisan kecil ini, saya hanya ingin mengajak pembaca bahwa ternyata tabiat buruk kawan saya di Soe pada saat itu tidak seremeh dan seringan yang kita hadapi saat ini. Tetapi bahwa ia sudah menjadi budaya dan menjadi gaya hidup masyarakat modern. Ia bukan lagi hanya terjadi di Soe, tapi sudah berskala nasional, hingga bukan lagi hanya saya dan beberapa guru yang dapat memakluminya, tetapi manusia setingkat para menteri pun sudah pasrah dan terpaksa turut memakluminya. Sebuah ironi dan lelucon yang sungguh tidak lucu. Mengenaskan.

25/11/11

Litani Cinta

Pada setiap sempat
entah siang pun malam
kudaraskan
berbait-bait kidung cinta tentangmu
tentang segala keindahan
tentang segala mimpi dan angan
dan
tentang segala entah

pernahkah kau mendengar itu sayang?
dapatkah kau menikmatinya?

sebuah seruan yang bermuasal dari kedalaman jiwa
mencuat memazmurkan namamu
yang sejak permulaan telah terpatri dalam sanubari
dan hendak mengekalkannya dalam kalbu

namun
kau berlalu
meninggalkan jejak
melintasi setiap mimpi buruk
dan  menghapus namamu dari kitab kehidupanku
lalu menciptakan sebuah cerita yang cemas

litani cinta
yang kudaraskan setiap siang pun malam
kian lama kehilangan estetikanya
kian kehilangan keindahannya
makin terdengar sumbang

resah dan galau pun terus menghalau
tuk melangkah lebih dekat ke arahmu
nalar pun bersabda:
cukup sampai di sini pijakan terakhirku.


24 Okt. 2011

Negeri Tak Bertuan


 Sesungguhnya di negeri kami
berlimpah susu dan madu
namun mengapa kami ditimpakan
kemiskinan
dan kemelaratan

kami serupa janin
yang lahir premature
tak  tahu di mana letak
puting susu ibu

lalu datang para hidung belang
merebutnya dari mulut kami
dan kami pun tumbuh akrab
dengan gisi buruk
dan busung lapar

sungguh lalim
dan kejam  raja kami
kebijaksanaan telah menguap dari mahkotanya
tertinggal nafsu birahi kian bergejolak
di antara selangkangan
yang menuntunya keluar istana
menanggalkan jubah kemuliaan
dan bertopeng hidung belang
menyusuri lorong lorong gelap nan pekat
untuk merenggut kehormatan
ibu kami
ibu pertiwi

kawan
lihatlah
kita sudah sedang hidup
di negeri tak bertuan
hampir setiap hari
darah mengalir
di bumi Cendrawasih
mungkin akan menyusul
di Maluku Selatan
dan  kembali berkecamuk
di bumi Serambi Mekah
lalu  tempat lain mengekor


kepada matahari
bintang dan rembulan
kisahkan perihal derita kami
kepada zaman dan musim catatlah tanya kami:
bilamanakah akan datang mesias,
sang pembebas?

sungguh kawan
aku tidak ingin menyaksikan
peristiwa yang sangat mengerikan itu:
bellum omnia contra omnes
(perang semua melawan semua)


Makassar, 25 Nov.2011

23/11/11

Berpacu Dengan Waktu


  Refleksi Akhir Tahun

“tempora mutantur et nos mutanmur in illis”
Waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya

Menunggu atau mengejar  waktu  merupakan dua suku kata yang sering membentur-bentur  dalam ruang kepala saya dengan tanya, ketika hendak meraih sesuatu, entah dekat, entah jauh di depan saya. Pertanyaan itu terus menerus mengusik dan mendesak untuk segera mendapat jawab dan sering memaksaku agar  segera menjatuhkan pilihan antara ‘menunggu’ atau ‘mengejar’.
Well, kita tahu bahwa dua suku kata tersebut memiliki maknanya masing-masing sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan.  Baik ‘menunggu’ maupun ‘mengejar’ sama-sama ada plus minus-nya. Tanpa harus menangguhkan kedua makna kata tersebut, sekaligus kekurangan dan kelebihannya masing-masing, saya memahaminya demikian: “Menunggu” mengandaikan sesuatu yang akan segera datang atau segera tiba. Sesuatu itu entah orang, entah benda, entah nasib, entah cinta, dan segala macam entah (pokoknya sesuatu banget gitu). Dan sesuatu yang akan segera tiba itu sudah barang tentu terlebih dahulu berada dalam sebuah proses. Seperti misal, menunggu atau menantikan kedatangan seseorang, tentu sudah ada proses interaksi lewat sebuah perjanjian tertentu dalam waktu yang telah ditentukan pula. Atau menantikan tiba musimya menuai mengandaikan bahwa sudah terlebih dahulu atau pernah ada sebuah proses menabur. Maka perihal menunggu dalam pola ini dapat berarti  menantikan saat yang tepat untuk bertindak. Dalam proses ini sudah barang tentu sarat akan akurasi dan kalkulasi matematis. Bagai seorang pemanah yang hendak memanah seekor kijang yang sedang berlari kencang. Perhitungan waktu, jarak dan kecepatan menjadi titik acuan.
Namun di sisi lain, menunggu juga adalah ketika menantikan sesuatu yang tidak pernah direncanakan terlebih dahulu. Kegiatan jenis ini lebih bersifat pasif atau lebih tepatnya disebut pasivitas (ini istilah saya sendiri). Dalam arti tidak melakukan sesuatu tetapi mengharapkan sesuatu itu akan segera datang. Dalam pola ini, secara prosentatif, hanya sebagian kecil membawa nasib baik. Dan sebagian besar menjadi penantian panjang tak berujung. Lantaran  sungguh di luar akal sehat bahwa tidak pernah menabur tetapi terus berharap akan tiba saatnya menuai. Mengharapkan sepenuhnya pada sentuhan halus dewi fortuna, bagiku adalah kesia-siaan belaka. Mengapa demikian? Karena hukum alam selalu sudah sedang berproses dan sang waktulah yang akan bertindak sebagai hakim agung, akan menentukan siapa yang telah berpartisipasi dengan baik, mengambil dan memanfaatkan setiap peluang yang ada dan siapa yang terhempas dan tergilas di dalam proses seleksi alam tersebut.
Maka pilihan kedua pun menjadi pertimbangan yang menarik: ‘mengejar’. Mengejar apa? Ya, mengejar apa saja dan siapa saja. Mengejar harta, mengejar wanita, mengejar cinta, mengejar hedonisme (kenikmatan), mengejar eudaimonia (kebahagiaan),  mengejar masa depan? Namun jawaban paling tepat bagi saya adalah mengejar waktu. Karena mengejar waktu sudah mencakup semua target buruan di atas.
Sedemikian pentingkah sang waktu sehingga menjadi target utama perburuan? Ya, tentu. Waktu meliputi segalanya. Namun masih banyak orang yang mengeluh karena tidak punya cukup waktu untuk sekadar menikmati segelas teh hangat dan sepotong roti atau singkong rebus pada pagi atau sore hari. Mereka selalu merasa ketinggalan kereta waktu sehingga harus bergegas mengejarnya. Namun demikian, mengejar tanpa henti pun sudah mengingkari hakikat kemanusiaan. Maka sinkronisasi antara keduanya: ‘menunggu dan mengejar’ akan lebih berdaya guna dan mencapai hasil yang maksimal ketimbang hanya salah satu porsi yang dimanfaatkan
Sebagai akhir kata, ada benang merah yang bisa ditarik dari catatan kecil ini adalah bahwa siapa yang berlari lebih cepat dan menyesuaikan diri dengan lajunya sang waktu, atau dengan lain kata, siapa lebih pandai dan cermat mengatur dan memanfaatkan waktunya sembari dipadu-satukan dengan menunggu saat yang tepat untuk bertindak dengan bijak, dialah penguasa situasi karena memiliki waktu yang cukup untuk melakukan apapun yang dikehendakinya.
Apakah saya bisa? Lalu bagaimana dengan anda? Semoga kita bisa, dan pasti kita bisa.
Maka mari kita menjadi penumpang terakhir tahun ini yang akan menghantar kita hingga ke pintu gerbang tahun 2012.
Selamat akhir tahun.


Makassar, 23 Nov. 2011

14/11/11

Bergulat Bersama Kata

Di dalam dan melalui Kata
kuhidangkan segala tentang keseluruhan diri
segala tentang yang polos
segala tentang yang bugil
atau tentang ketelanjangan itu sendiri

pula
di dalam dan melalui Kata
kutuangkan segala rasa
tentang arti kebahagiaan
pun tentang arti penderitaan
dan tentang makna sebuah kehidupan
yang bagai secangkir anggur asam hendak kusinggirkan
namun
kubersujud seraya memohon:
Jika engkau mau, biarlah cawan ini berlalu dari padaku

Dalam kesunyian diri
dan kekusukan doa
melalui Rahim Kata yang sepanjang waktu
setia menanti pada samping altar suci
di sana
kujumpai  oase kehidupan yang hening tenteram

kudaraskan litani kehidupan
bersenandungkan kidung-kidung ratapan
bersama orkestra paduan suara burung gereja
yang seketika menjadi kidung-kidung kebahagiaan
sekadar mengusir kegelisahan hati
mencerahkan kekalutan jiwa
dan menyemarakan puja dan puji kepada Sang Kata
yang selalu rela menjadi tumpahan segala rasa.

Pergi Untuk Kembali (2)

Terinspirasi oleh catatan kecil sahabatku, Kris Bheda Somerpes yang berjudul “Flobamora Memanggil” pada blog: Jejak Kata Buana, saya sungguh tergugah dan terharu berpadu rindu pada alam Flobamora segera seketika memenuhi ruang rasa dan membentur-bentur di kepala dengan tanya ‘kapan saya akan datang dan menjawab panggilan itu’.  Tak lebih dari tafsiran di atas tafsiran tentang sebuah pesan: “Flobamora memanggilmu untuk kembali, tidakkah kau peduli tinggalkan kami sendiri, jika benar kau tidak kembali, maka menarilah di rantau negeri sejejak Ja’i atau alun-dendangkan Bale Nagi,”  saya pun dengan haru memaknai pesan ini sebagai sebuah ajakan yang serius dan mendesak menjalin dan mempererat solidaritas untuk bersama-sama membangun tanah air Flobamora. Ajakan yang sebagaimana juga dirasakan oleh sahabatku Kris, memang terdengar puitis. Lantaran itu, ia terus terngiang di benak saya dan kian mendesak mencari jawab yang hingga tulisan ini diretas,  belum tuntas mendapat jawaban yang memadai. Namun demikian, saya tetap yakin pada kata sahabatku: “kami janji, dengan cara kami, kami pasti kembali.”
Lebih jauh dari itu, tanya terus mengejar jawab dan mengusik ungkit penuh gairah ingin tahu tentang sebab muasal ribuan putra-puteri Flobamora berada di rantauan, hingga beberapa menetap dan tidak hendak kembali. Dengan liar pertanyaan itu menukik menembus dan melampaui berbagai dimensi kehidupan di NTT.  Berangkat  dari aspek sosial, pendidikan, budaya dan bermuara pada dimensi politk sebagai cikal bakal ‘larinya’ anak-anak  dari pangkuan Flobamora yang entah mencari ilmu, entah pekerjaan di rantau orang. Tentang yang terakhr ini, memang belum ada yang salah dan masih terbuka ruang diskusi untuk diperdebatkan. Namun hingga titik ini, pertanyaan besarnya masih berkutat pada dimensi politik tentang kebijakan pemerintah daerah. Bila dalam kerangka yang lebih luas tentang keindonesiaan berkaitan dengan isu para ‘pahlawan devisa’ di luar negeri, pertanyaan pokoknya adalah apakah pemerintah negeri ini sudah siap untuk menampung para TKI bila berbagai persoalan  TKI di luar negeri kian merisaukan dan terancam dideportasi dalam jumlah yang besar? Pertanyaan yang sama dapat diajukan pada pemerintah daerah NTT tentang para perantau, baik yang masih di wilayah Indonesia maupun yang berada di luar negeri terutama para TKI.
Namun demikian, paling tidak bagi saya, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, saya pasti pulang, terlepas dari semua kepentingan-kepentingan berbagai aspek di atas, tapi bahwa Flobamora adalah tanah tumpah darahku, di sana tempat lahir beta. Saya akan kembali ke pangkuanmu dan membangunmu dengan caraku sendiri.
Catatan kecil ini masih menggantung pertanyaan di atas dan sengaja tidak dituntaskan degan harap membuka ruang diskusi terhadap partisipasi para pembaca tulisan ini untuk memberikan saran, kritik dan masukan yang mungkin saja dengan demikian melalui saran, kritik dan masukan-masukan, dapat menyempurnakan catatan kecil ini dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pergi Untuk Kembali (1)

Sejak kuayunkan kaki melangkah pergi jauh darimu, tak berarti aku membencimu.
Dari ayunan langkah kaki yang ringan, pikiran yang jernih dan hati yang teguh lewat tatapan mata yang mantap menatap mimpi, aku sadar bahwa pada ketika itu kau pun tak tega melihatku lalu membiarkan kuberjalan sendirian.
Doamu, seperti juga kasihmu yang sepanjang jalan mengiring di setiap tapak-tapak jejak langkah, sembari hendak meluruskan jalan yang berliku dan ratakan yang berlubang, namun betapa besar keyakinanmu pada sakralnya doa-doamu, sesungguhnya engkau harus sadar pula bahwa aku bukanlah “sang jalan, kebenaran dan hidup”  sebagaimana yang dinubuatkan oleh para nabi, agar jalanNya dipersiapkan oleh sang rasul.
Aku hanyalah seorang musafir yang berkelana di padang kehidupan mencari makna di balik setiap peradaban yang kadang larut bersamanya, kadang pula menarik diri sekadar untuk mencerna dan memetik serupa apa sejatinya hidup itu. Dalam petualangan hidup yang sudah sedang berjalan itu, telah cukup banyak bersentuhan dan bersinggungan dengan berbagai bentuk dan rupa wajah serta ragam peristiwa yang melahirkan kisah-kisah kelam pun kisah-kisah ceria yang pada gilirannya menghantarku ke dalam sebuah kontemplasi dan permenungan panjang tentang mimpi-mimpi yang pernah kau tanamkan semasa kecil.
Pada ketika itu, dalam kesenyapan malam, di sebuah dusun  terpencil, aku lahir, lalu tumbuh dan belajar bersama alam tandus nan  gersang. Dalam pola dan situasi itu, engkau menaburkan benih-benih kearifan lokal dan menunjukkan kearifan alam dengan mengajakku mengunjungi ladang agar rajin dan cinta pekerjaan. Dalam dan melalui  cangkul, pacul, parang, tombak dan linggis, engkau mendidikku dengan harapan sederhana: bila nanti dalam pengembaraanku sebagai musafir, kelak aku harus kembali sebagai pemenang dalam pertempuran melawan zaman.