15/06/13

DIES NATALIS Paroki St. Fransiskus Xaverius, Tanjung Priok - Jakarta Utara

Riuh rendah kota pelabuhan kini
sejatinya membuncah dari kesenyapan purba
di tepi pantai Priok
tinggal terdengar suara ombak pecah
di karang Tanjung

deru gemuruh ombak mengirim pesan ilahi:
"bahtera harus segera dibangun"
bagai perintahNya pada  Nuh di zamannya
ragam etnis berpadu dalam cita
seirama dalam gerak
bersama melangkah mewujud bahtera perdana
di bawah panji santo fransiskus xaverius

bahtera itu kini
t'lah bermil-mil jauh mengarung zaman
membelah bentang samudera biru
menggores warna pada musim
mencipta garis di pusat waktu sepanjang enam puluh tahun
menembus badai yang selalu sudah sedang menghadang
menggiring peziarah kehidupan
menuju tepian waktu
'tuk sejenak berlabuh dan berbenah

ziarah masih panjang
samudera tetap membentang keabadian
panji santo tetap berkibar
seraya menari berirama badai
namun terus menebar jala kehidupan
'tuk menjaring rengkuh insan yang karam terempas

roh santo terus membakar asa menyala
mengusir galau menghalau rintang
walau jauh di sana tampak misteri
yang tak lelah menanti jawab peziarah
di balik meisteri itu terpatri harapan sederhana:
kelak peziarah dapat membaca hakikat Cinta.


                                                                             
David Bansele
Tanjung Priok, 07 November 2012



06/03/12

Berproses Menuju Keutuhan Diri

Pada paruh petualangan hidup, aku duduk di tepi waktu untuk  sejenak termenung sembari melihat-pandang  garis hidup yang telah kutoreh pada bait-bait zaman. Dalam ingatan, aku menyusur ke arah aku datang. Ada penggalan-penggalan kisah yang hilang di antara jurang dan lika-liku perjalanan.  Kucoba masuk menyelami ruang memori untuk mencari, namun tak kutemukan.  Kisah-kisah  yang hilang entah di mana.  Aku pun hanya bisa mencatatnya dengan tegas  kisah-kisah malang itu dan akan selalu kuingat sebagai penggal-penggal kegagalan.
Pada kisah-kisah yang hilang itu, aku berguru. Belajar tentang kegagalan. Belajar tentang kesalahan. Dari sana aku dapat bercermin bahwa sesungguhnya masih banyak yang harus dibenahi. Pun banyak yang harus diurai untuk kemudian disulam dan dirajut kembali menjadi kisah yang utuh. Dalam proses itu, aku semakin sadar bahwa sejatinya hidup dan kehidupan bukanlah milikku. Ia hanya meminjamkannya padaku untuk kutandai. Mula-mula, entah sekadar hakikat tanpa bentuk agar aku dapat membentuknya sendiri, atau mungkin hanya serupa bentuk tanpa hakikat dengan harap aku dapat menggoreskan ragam warna. Entahlah. Aku hanya memandang hidup dan kehidupan yang sudah sedang kujalani lebih sebagai anugerah, serupa kado terindah yang harus   dirayakan.
Lantaran itu, aku pun sadar akan skeptisisme dan apatisme yang pernah bertakhta di ruang kepala dan memberi citra yang lain tentang Dia. Aku sadar bahwa kala aku memuja, memuji dan memuliakan nama-Nya, bukan lantaran Dia sedang kesepian dan butuh hiburan. Bukan pula karena Dia ingin dipuja dan dipuji sebagai manusia yang  haus akan pujian, pengakuan, kehormatan dan kekuasaan. Tanpa  semuanya itu, Ia adalah mahakuasa dan cukup diri. Pujianku sedikitpun tak menambah kemuliaan-Nya. Tak kupuji pun, tidak mengurangi kemuliaan-Nya. Sejatinya Ia hanya ingin agar aku sadar dan tahu berterima kasih dan mengaku sebagai manusia yang rapuh.
Kini, saatnya membuka mata, telinga dan hati untuk mampu melihat, mendengar dan merasakan kehadiran-Nya yang mungkin sudah hampir lelah menjadi kawan seperjalanan, seperti yang pernah Ia tunjukan dalam kisah perjalanan dua sahabat ke Emaus. Aku harus mampu menyelami untuk memahami makna tentang  apa artinya kalau Allah adalah Allah beserta kita, Imanuel.
Pada pijakan ini, setelah duduk termenung sejenak, aku hendak bangkit melangkah lebih jauh berkelana, merajut  kisah yang lebih utuh dengan makna yang lebih dalam. Kuyakin sungguh, bersama Dia sebagai kawan seperjalanan, akan kulukis  hidup dengan garis dan warna sembari memohon restu semoga dapat mewujud jadi pelangi.

16/12/11

Potret anak Negeri

Pada langit kota angin mamiri suatu senja
di  tepi pantai losari yang bermandikan cahaya jingga
tampak gerimis berderai melukis warna dan garis
lalu mewujud  pelagi

aku di depan rumah sakit stella maris

di tepi pantai itu
kusaksikan anak anak jalanan bertelanjang
girang memungut sampah botol air mineral
yang terhempas ombak
sebagai bekal pulang ke rumah
karena dapur hari ini
tanggugjawab mereka

15/12/11

Anatara Ziarah dan Wisata

Pada keheningan pusat malam, di bawah langit gulita Jakarta yang enggan menyajikan taburan kerlap-kerlip sejuta bintang, selain dari celah awan dan kabut asap polusi kota, sang rembulan tampak malu-malu mengintip bumi. Ya, di langit malam Jakarta, bulan tampak egois. Serupa permata, ia bersinar hanya untuk dirinya sendiri. Di saat Pasar Rawasari hiruk pikuk para pedagang sayur dan buah untuk  menyongsong paginya, persis di teras samping kost kami, sambil menikmati segelas kopi asli Manggarai dan sebungkus rokok Sampoerna, saya dan kawan saya sembari menatap bulan kelabu, larut dalam obrolan santai seputar “Hardiknas” (bukan hari pendidikan nasional, tapi hari mudik nasional) menjelang Idul Fitri.
“Mudik hanyalah sebuah ‘ritual’ yang gak ada asal usulnya dengan agama Islam. Pun bukan warisan kebudayaan dari tempat di mana Quran diturunkan. Mudik hanya ada di Indonesia, terutama sangat kental di daratan pulau Jawa,” demikian kata kawan saya yang berasal dari Siduarjo, Jawa Timur ini mencoba merenungkan “hardiknas” yang cukup menyedot perhatian pemerintah. Menurutnya, mudik itu ada lantaran tiadanya lapangan kerja di daerah sehingga orang merantau ke kota-kota besar untuk mencari nafkah. Maka ketika tiba hari raya Idul Fitri, semua yang merantau akan pulang ke kampung halamannya untuk merayakan Idul Fitri dan berlebaran bersama orangtua, sanak saudara dan tetangganya di kampung dan berziarah ke makam keluarga dan leluhurnya.
“Jadi, kapan kau akan bermudik ria ke kampung?” tanyaku seusai ia panjang lebar merunut kembali istilah mudik yang sudah membudaya di negeri ini.
“Kampung? Saya mau mudik ke kampung?” sontaknya dengan nada tanya yang menampakan berbaris-baris keningnya yang  kian  mengerut, meskipun usianya masih sangat belia untuk dibilang tua.
“Kau harus bersyukur kawan, karena masih punya kampung,” tambahnya lagi seusai sejenak ia merenung, “saya, sudah tidak punya apa-apa dan siapa-siapa. Dulu, paling tidak saya masih punya kuburan mereka, kedua orangtua saya. Namun kini, apa? Saya kehilangan semuanya. Kuburan orangtua, rumah, sawah dan ladang, bahkan kampung saya sudah hilang ditelan lautan lumpur.
Sepanjang itu, hampir semalam suntuk, saya menjadi pendengar setianya menumpahkan segala rasa sesak di kalbunya. Sepanjang itu, dalam hati dan rasa, saya turut prihatin dan larut dalam dan anatara kesedihan dan kemuakan. Sepanjang itu pula, dalam kalbu dan sukma, saya mencatat dan mengingat kisah pilu sekaligus luapan amarah dan hujatan serta makian yang paling keji sekalipun seakan belum cukup tepat untuk dilontarkan terhadap Pak Menteri, Aburzal Bakrie, makhluk sang pemilik perusahaan Lapindo maut. Bahkan bila ada kesempatan, dia ingin menenggelamkan pak menteri ke dasar lumpur untuk meminta maaf kepada kedua orangtuanya pada hari lebaran tahun ini.
Pada akhir penumpahan rasa itu, saya mengajaknya mengambil haluan, dari Sidoarjo ke NTT.
“Ya, saya memang harus bersyukur, karena masih punya kampung. Saya masih punya semuanya. Tapi, cepat atau lambat, saya dan semua orang yang ada di daerah saya akan mengalami nasib yang sama.” Kataku sembari membakar rokok terakhir.
“Kampungmu di mana?”
“Di Soe. Kau tahu Soe?” jawabku sambil tersenyum sekadar menguji pengetahuan geografisnya.
“Soe itu di Timor atau di Flores, atau di Sumba?” tanyanya.
“Di Timor.”
“Masuk Timor Leste?”
“Tidak, masuk Indonesia.”
Sejenak kami diam. Ia mengambil gelas, meneguk kopinya yang sedari tadi tak tersentuh. Kami menatap lagi sang rembulan yang makin condong di ujung langit barat sambil menghembuskan asap rokok penghabisan. Saya mulai menggambarkan tentang keadaan geografis di Indonesia bagian Timur, khususnya di NTT. Dia, yang lulusan SMU, datang ke Jakarta jadi buruh pabrik memang kurang pengetahuan secara geografis di Indonesia bagian Timur sehingga sering menyamakan begitu saja NTT dengan Ambon bahkan Papua. Dia pun kaget setelah tahu bahwa di NTT banyak pertambangan di sana. Keheranannya makin memuncak ketika dia tahu bahwa tambang illegal di NTT hampir sebanding dengan yang legal. Hutan-hutan menjadi gundul hingga hutan lindung pun diserobot sehingga timbul berbagai bencana. Ya, berbagai macam bencana yang ada di NTT merupakan anak dari perselingkuhan gelap antara pengusaha tambang dan pemerintah daerah.
“Tambang di mana-mana lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya,” selanya tiba-tiba memotong penjelasan saya.
“Karena itu, kami orang NTT di Jakarta membentuk ormas-ormas kecil dan bersinergi dengan ormas-ormas lain dan para aktivis lingkungan untuk menentang atau minimal mengajak pemerintah daerah mengkaji ulang kegiatan aktivitas tambang di sana. Namun kami seperti menabrak tembok. Sangat kuat kekuasaan penguasa di sana. Mereka mampu membelah masyarakat menjadi dua kubu sehingga sering terjadi konflik antar masyarakat sendiri.” Jelasku panjang lebar.
“Ya, Insya Allah tidak terjadi seperti di Sidoarjo, Kampung saya. Saya udah gak bisa pulang kampung karena memang udah gak ada kampung. Pengen sih pulang untuk ziarah ke makam orangtuaku, tapi Siduarjo udah jadi tampat wisata lumpur. Jadi ke sana ya, antara mau ziarah atau mau wisata,” selorohnya sambil tertawa kecil.
“Ya, semua juga pasti tidak ingin kampung halamannya disulap jadi tempat wisata yang menyakitkan. Di mana-mana orang berwisata itu menyenangkan, bukan menyakitkan..haha,” balasku ikut tertawa.
Tak terasa sang rembulan mendahului kami memasuki peraduannya. Tampak langit malam Jakarta tanpa hiasan bintang dan cahaya kelabu sang rembulan. Kami pun beranjak meninggalkan setumpuk puntung Sampoerna dan ampas kopi Manggarai menuju kamar masing-masing untuk menyudahi malam itu.

28/11/11

Untuk Sang Mantan: Eks My Princess

setelah kepergianmu
kau sempat meninggalkan bekas
namamu yg pernah terukir indah
aku merawatnya dengan harap
menanti kau akan kembali suatu waktu

namun aku harus berserah dan bersimpuh
di bawah kuasa sang waktu
yang tanpa belas kasih
telah menggilasnya hingga tak berbekas


jangan salahkan aku sayang


kini
aku harus berbenah segala yang telah menjadi musuh keindahan
menata kembali estetika taman kehidupan
yang  pernah menjadi saksi kala kita memadu kasih
 kala itu aku memanggilmu puteri kerajaan
kau pun menyebutku pangeran istana cinta
seketika hidup kita serasa punya jiwa
penuh gairah
sarat makna

mari kita lupakan itu sayang


setelah kau menemukan dan tertambat di suatu negeri
kau kirim kabar bahwa kau telah tiba
di tanah terjanji penuh susu dan madu
aku pun bahagia mendengarnya.

bukankah orang yang kita cintai dengan tulus, kebahagiaannya menjadi salah satu maxim kita?

Kepada badai
kepada waktu
aku berhutang cinta
namun aku harus panjatkan puji dan syukur
atas ke-tanpa-belas-kasihan-nya
membantu menghapus bekas namanya
memberi vitamin amnesia
sekadar melupakannya

karena bagiku
melupakannya adalah suatu pencapaian tertinggi

Dari Soe Hingga Jakarta

Waktu SMP dan SMA dulu di kota, saya tinggal di asrama. Persisnya di Asrama Putera Sint Vianney Soe-TTS (yang tidak tahu kota ini, silakan lihat di peta, yang pasti belum terhapus dari peta Indonesia). Libur sekolah dan pulang ke desa merupakan saat yang paling dinanti-nantikan bagi kami  yang berasal dari desa.  Nuansa kegembiraan itu terpancar dari setiap wajah kami yang masih imut-imut manja yang telah  sekian lama menahan rasa rindu pada papa - mama  dan adik- kakak. Entah karena terdesak rasa rindu yang mendalam, sehari sebelum pengumuman liburan (H-1), ada teman yang sudah "cabut" duluan. Dan oleh kami dan beberapa guru, hal itu dianggap lumrah, toh besoknya sudah akan mulai libur. Pun ketika liburan berakhir dan mulai masuk sekolah, pada hari pertama, teman yang sama belum juga masuk sekolah. Dia baru mulai masuk sekolah pada hari kedua atau ketiga. Dan lagi, oleh kami dan beberapa guru memakluminya, toh pelajaran belum berjalan lancar.

Waktu berlalu dan berlari begitu cepat. Belum sempat membenahi diri dan melupakan hari itu, masih segar pula dalam ingatan tentang peristiwa itu, tentang pemakluman itu, tabiat buruk teman saya yang masih imutan itu dan pemaklumannya dari kami ternyata berkembang begitu pesat bersamaan dengan lajunya sang waktu. Tabiat buruk itu bagai hama ulat bulu yang dalam sekejab  dapat  merambah ke berbagai daerah. Tabiat buruk teman saya  di Soe, ternyata dengan mudah dapat dijumpai di berbagai daerah dari berbagai lapisan masyarakat di seantero negeri. Akhirnya tabiat buruk yang dipelihara secara kolektif  ini,  kini mulai merongrong eksistensi negeri ini. Keputusan atau kebijakan tiga menteri bahwa hari senin, 16 Mei 2011 adalah hari libur cuti bersama dengan alasan bahwa hari senin itu, hari yang 'kejepit' antara hari libur sehingga sudah barang tentu para pegawai akan malas masuk kerja pada hari tersebut.  Sebuah kebijakan yang diputuskan secara mendadak ini menunjukkan bahwa para penyelenggara negeri ini memiliki mentalitas yang sangat buruk. Mereka menganggap negara ini sesederhana mengurus sebuah warteg (warung Tegal). Ini merupakan contoh konkrit dari tabiat buruk yang dibiarkan untuk semakin menancapkan cengkramannya pada tubuh bangsa dan para pengurus bangsa ini seolah tidak mampu lagi untuk membenahinya selain membenarkannya atau menasionalisasikannya. dengan kata lain, melegalkan mentalitalias kemalasan dan membudayakannya. seperti inilah sikap pemerintah kita dalam menghadapi sebuah perersoalan. sebagaimana juga yang dilakukan oleh menteri hukum dan HAM, Patrialis Akbar terhadap pengguna narkoba yang dapat dibebaskan bila pemakaiannya di bawah satu gram, dengan alasan konyolnya  bahwa penjara sudah tidak mampu menampung lagi para penjahat. sungguh sangat tidak solutif.

Dalam tulisan kecil ini, saya hanya ingin mengajak pembaca bahwa ternyata tabiat buruk kawan saya di Soe pada saat itu tidak seremeh dan seringan yang kita hadapi saat ini. Tetapi bahwa ia sudah menjadi budaya dan menjadi gaya hidup masyarakat modern. Ia bukan lagi hanya terjadi di Soe, tapi sudah berskala nasional, hingga bukan lagi hanya saya dan beberapa guru yang dapat memakluminya, tetapi manusia setingkat para menteri pun sudah pasrah dan terpaksa turut memakluminya. Sebuah ironi dan lelucon yang sungguh tidak lucu. Mengenaskan.