14/11/11

Bergulat Bersama Kata

Di dalam dan melalui Kata
kuhidangkan segala tentang keseluruhan diri
segala tentang yang polos
segala tentang yang bugil
atau tentang ketelanjangan itu sendiri

pula
di dalam dan melalui Kata
kutuangkan segala rasa
tentang arti kebahagiaan
pun tentang arti penderitaan
dan tentang makna sebuah kehidupan
yang bagai secangkir anggur asam hendak kusinggirkan
namun
kubersujud seraya memohon:
Jika engkau mau, biarlah cawan ini berlalu dari padaku

Dalam kesunyian diri
dan kekusukan doa
melalui Rahim Kata yang sepanjang waktu
setia menanti pada samping altar suci
di sana
kujumpai  oase kehidupan yang hening tenteram

kudaraskan litani kehidupan
bersenandungkan kidung-kidung ratapan
bersama orkestra paduan suara burung gereja
yang seketika menjadi kidung-kidung kebahagiaan
sekadar mengusir kegelisahan hati
mencerahkan kekalutan jiwa
dan menyemarakan puja dan puji kepada Sang Kata
yang selalu rela menjadi tumpahan segala rasa.

Pergi Untuk Kembali (2)

Terinspirasi oleh catatan kecil sahabatku, Kris Bheda Somerpes yang berjudul “Flobamora Memanggil” pada blog: Jejak Kata Buana, saya sungguh tergugah dan terharu berpadu rindu pada alam Flobamora segera seketika memenuhi ruang rasa dan membentur-bentur di kepala dengan tanya ‘kapan saya akan datang dan menjawab panggilan itu’.  Tak lebih dari tafsiran di atas tafsiran tentang sebuah pesan: “Flobamora memanggilmu untuk kembali, tidakkah kau peduli tinggalkan kami sendiri, jika benar kau tidak kembali, maka menarilah di rantau negeri sejejak Ja’i atau alun-dendangkan Bale Nagi,”  saya pun dengan haru memaknai pesan ini sebagai sebuah ajakan yang serius dan mendesak menjalin dan mempererat solidaritas untuk bersama-sama membangun tanah air Flobamora. Ajakan yang sebagaimana juga dirasakan oleh sahabatku Kris, memang terdengar puitis. Lantaran itu, ia terus terngiang di benak saya dan kian mendesak mencari jawab yang hingga tulisan ini diretas,  belum tuntas mendapat jawaban yang memadai. Namun demikian, saya tetap yakin pada kata sahabatku: “kami janji, dengan cara kami, kami pasti kembali.”
Lebih jauh dari itu, tanya terus mengejar jawab dan mengusik ungkit penuh gairah ingin tahu tentang sebab muasal ribuan putra-puteri Flobamora berada di rantauan, hingga beberapa menetap dan tidak hendak kembali. Dengan liar pertanyaan itu menukik menembus dan melampaui berbagai dimensi kehidupan di NTT.  Berangkat  dari aspek sosial, pendidikan, budaya dan bermuara pada dimensi politk sebagai cikal bakal ‘larinya’ anak-anak  dari pangkuan Flobamora yang entah mencari ilmu, entah pekerjaan di rantau orang. Tentang yang terakhr ini, memang belum ada yang salah dan masih terbuka ruang diskusi untuk diperdebatkan. Namun hingga titik ini, pertanyaan besarnya masih berkutat pada dimensi politik tentang kebijakan pemerintah daerah. Bila dalam kerangka yang lebih luas tentang keindonesiaan berkaitan dengan isu para ‘pahlawan devisa’ di luar negeri, pertanyaan pokoknya adalah apakah pemerintah negeri ini sudah siap untuk menampung para TKI bila berbagai persoalan  TKI di luar negeri kian merisaukan dan terancam dideportasi dalam jumlah yang besar? Pertanyaan yang sama dapat diajukan pada pemerintah daerah NTT tentang para perantau, baik yang masih di wilayah Indonesia maupun yang berada di luar negeri terutama para TKI.
Namun demikian, paling tidak bagi saya, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, saya pasti pulang, terlepas dari semua kepentingan-kepentingan berbagai aspek di atas, tapi bahwa Flobamora adalah tanah tumpah darahku, di sana tempat lahir beta. Saya akan kembali ke pangkuanmu dan membangunmu dengan caraku sendiri.
Catatan kecil ini masih menggantung pertanyaan di atas dan sengaja tidak dituntaskan degan harap membuka ruang diskusi terhadap partisipasi para pembaca tulisan ini untuk memberikan saran, kritik dan masukan yang mungkin saja dengan demikian melalui saran, kritik dan masukan-masukan, dapat menyempurnakan catatan kecil ini dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pergi Untuk Kembali (1)

Sejak kuayunkan kaki melangkah pergi jauh darimu, tak berarti aku membencimu.
Dari ayunan langkah kaki yang ringan, pikiran yang jernih dan hati yang teguh lewat tatapan mata yang mantap menatap mimpi, aku sadar bahwa pada ketika itu kau pun tak tega melihatku lalu membiarkan kuberjalan sendirian.
Doamu, seperti juga kasihmu yang sepanjang jalan mengiring di setiap tapak-tapak jejak langkah, sembari hendak meluruskan jalan yang berliku dan ratakan yang berlubang, namun betapa besar keyakinanmu pada sakralnya doa-doamu, sesungguhnya engkau harus sadar pula bahwa aku bukanlah “sang jalan, kebenaran dan hidup”  sebagaimana yang dinubuatkan oleh para nabi, agar jalanNya dipersiapkan oleh sang rasul.
Aku hanyalah seorang musafir yang berkelana di padang kehidupan mencari makna di balik setiap peradaban yang kadang larut bersamanya, kadang pula menarik diri sekadar untuk mencerna dan memetik serupa apa sejatinya hidup itu. Dalam petualangan hidup yang sudah sedang berjalan itu, telah cukup banyak bersentuhan dan bersinggungan dengan berbagai bentuk dan rupa wajah serta ragam peristiwa yang melahirkan kisah-kisah kelam pun kisah-kisah ceria yang pada gilirannya menghantarku ke dalam sebuah kontemplasi dan permenungan panjang tentang mimpi-mimpi yang pernah kau tanamkan semasa kecil.
Pada ketika itu, dalam kesenyapan malam, di sebuah dusun  terpencil, aku lahir, lalu tumbuh dan belajar bersama alam tandus nan  gersang. Dalam pola dan situasi itu, engkau menaburkan benih-benih kearifan lokal dan menunjukkan kearifan alam dengan mengajakku mengunjungi ladang agar rajin dan cinta pekerjaan. Dalam dan melalui  cangkul, pacul, parang, tombak dan linggis, engkau mendidikku dengan harapan sederhana: bila nanti dalam pengembaraanku sebagai musafir, kelak aku harus kembali sebagai pemenang dalam pertempuran melawan zaman.