Pada setiap sempat
entah siang pun malam
kudaraskan
berbait-bait kidung cinta tentangmu
tentang segala keindahan
tentang segala mimpi dan angan
dan
tentang segala entah
pernahkah kau mendengar itu sayang?
dapatkah kau menikmatinya?
sebuah seruan yang bermuasal dari kedalaman jiwa
mencuat memazmurkan namamu
yang sejak permulaan telah terpatri dalam sanubari
dan hendak mengekalkannya dalam kalbu
namun
kau berlalu
meninggalkan jejak
melintasi setiap mimpi buruk
dan menghapus namamu dari kitab kehidupanku
lalu menciptakan sebuah cerita yang cemas
litani cinta
yang kudaraskan setiap siang pun malam
kian lama kehilangan estetikanya
kian kehilangan keindahannya
makin terdengar sumbang
resah dan galau pun terus menghalau
tuk melangkah lebih dekat ke arahmu
nalar pun bersabda:
cukup sampai di sini pijakan terakhirku.
24 Okt. 2011
25/11/11
Negeri Tak Bertuan
berlimpah susu dan madu
namun mengapa kami ditimpakan
kemiskinan
dan kemelaratan
kami serupa janin
yang lahir premature
tak tahu di mana letak
puting susu ibu
lalu datang para hidung belang
merebutnya dari mulut kami
dan kami pun tumbuh akrab
dengan gisi buruk
dan busung lapar
sungguh lalim
dan kejam raja kami
kebijaksanaan telah menguap dari mahkotanya
tertinggal nafsu birahi kian bergejolak
di antara selangkangan
yang menuntunya keluar istana
menanggalkan jubah kemuliaan
dan bertopeng hidung belang
menyusuri lorong lorong gelap nan pekat
untuk merenggut kehormatan
ibu kami
ibu pertiwi
kawan
lihatlah
kita sudah sedang hidup
di negeri tak bertuan
hampir setiap hari
darah mengalir
di bumi Cendrawasih
mungkin akan menyusul
di Maluku Selatan
dan kembali berkecamuk
di bumi Serambi Mekah
lalu tempat lain mengekor
kepada matahari
bintang dan rembulan
kisahkan perihal derita kami
kepada zaman dan musim catatlah tanya kami:
bilamanakah akan datang mesias,
sang pembebas?
sungguh kawan
aku tidak ingin menyaksikan
peristiwa yang sangat mengerikan itu:
bellum omnia contra omnes
(perang semua melawan semua)
Makassar, 25 Nov.2011
Langganan:
Postingan (Atom)