06/03/12

Berproses Menuju Keutuhan Diri

Pada paruh petualangan hidup, aku duduk di tepi waktu untuk  sejenak termenung sembari melihat-pandang  garis hidup yang telah kutoreh pada bait-bait zaman. Dalam ingatan, aku menyusur ke arah aku datang. Ada penggalan-penggalan kisah yang hilang di antara jurang dan lika-liku perjalanan.  Kucoba masuk menyelami ruang memori untuk mencari, namun tak kutemukan.  Kisah-kisah  yang hilang entah di mana.  Aku pun hanya bisa mencatatnya dengan tegas  kisah-kisah malang itu dan akan selalu kuingat sebagai penggal-penggal kegagalan.
Pada kisah-kisah yang hilang itu, aku berguru. Belajar tentang kegagalan. Belajar tentang kesalahan. Dari sana aku dapat bercermin bahwa sesungguhnya masih banyak yang harus dibenahi. Pun banyak yang harus diurai untuk kemudian disulam dan dirajut kembali menjadi kisah yang utuh. Dalam proses itu, aku semakin sadar bahwa sejatinya hidup dan kehidupan bukanlah milikku. Ia hanya meminjamkannya padaku untuk kutandai. Mula-mula, entah sekadar hakikat tanpa bentuk agar aku dapat membentuknya sendiri, atau mungkin hanya serupa bentuk tanpa hakikat dengan harap aku dapat menggoreskan ragam warna. Entahlah. Aku hanya memandang hidup dan kehidupan yang sudah sedang kujalani lebih sebagai anugerah, serupa kado terindah yang harus   dirayakan.
Lantaran itu, aku pun sadar akan skeptisisme dan apatisme yang pernah bertakhta di ruang kepala dan memberi citra yang lain tentang Dia. Aku sadar bahwa kala aku memuja, memuji dan memuliakan nama-Nya, bukan lantaran Dia sedang kesepian dan butuh hiburan. Bukan pula karena Dia ingin dipuja dan dipuji sebagai manusia yang  haus akan pujian, pengakuan, kehormatan dan kekuasaan. Tanpa  semuanya itu, Ia adalah mahakuasa dan cukup diri. Pujianku sedikitpun tak menambah kemuliaan-Nya. Tak kupuji pun, tidak mengurangi kemuliaan-Nya. Sejatinya Ia hanya ingin agar aku sadar dan tahu berterima kasih dan mengaku sebagai manusia yang rapuh.
Kini, saatnya membuka mata, telinga dan hati untuk mampu melihat, mendengar dan merasakan kehadiran-Nya yang mungkin sudah hampir lelah menjadi kawan seperjalanan, seperti yang pernah Ia tunjukan dalam kisah perjalanan dua sahabat ke Emaus. Aku harus mampu menyelami untuk memahami makna tentang  apa artinya kalau Allah adalah Allah beserta kita, Imanuel.
Pada pijakan ini, setelah duduk termenung sejenak, aku hendak bangkit melangkah lebih jauh berkelana, merajut  kisah yang lebih utuh dengan makna yang lebih dalam. Kuyakin sungguh, bersama Dia sebagai kawan seperjalanan, akan kulukis  hidup dengan garis dan warna sembari memohon restu semoga dapat mewujud jadi pelangi.